Sabtu, 13 Agustus 2011

ELEMEN RANCANG KOTA


PENDAHULUAN

Pada permulaan abad 20, sepuluh persen dari jumlah penduduk dunia tinggal di perkotaan. Hingga tahun 2000 jumlah itu bertambah mencapai 50% dari jumlah seluruh penduduk dunia yang tinggal di perkotaan. Dari data tersebut terlihat bahwa beban permasalahan yang besar terhadap ruang hidup manusia adalah berada di daerah perkotaan atau urban area.
Perkembangan perkotaan tidak terlepas dari konsep-konsep rancang kota (urban design) yang telah banyak dihasilkan untuk mendapatkan ruang hidup pada lingkungan perkotaan yang lebih baik. Konsep-kosep kota yang berkembang dari yang bersifat rasionalis, empiris hingga utopis mewarnai penelaahan akademis atau teoritis maupun praktis atau terapan. Akan tetapi walaupun konsep-konsep rancang kota berkembang, satu hal yang tak bisa lepas dari rancang kota adalah permasalahan manusia itu sendiri dengan aspek-aspek sosial, politik, ekonomi, budaya maupun karakteristik lokalitas kota itu sendiri.
Ide dari konsep rancang kota tidak selalu merupakan suatu ide baru dengan visi futuristik seperti Le Corbusier dengan kota kontemporer berorientasi vertikal dengan ruang terbuka lebar pada orientasi horisontal. Akan tetapi ide lama camillo site yang mempengaruhi konsep baru para tokoh empiris sampai pada konsep dari New Urbanism.
Para ahli atau teoritis dalam rancang kota berusaha mengelompokan dan menjabarkan teori atau tulisan-tulisannya secara sistematis menjadi suatu bagian–bagian yang bersifat fisik atau non fisik, terukur atau tak terukur dari elemen makro hingga elemen mikro atau pada suatu panduan perancangan (guidelines) berdasarkan kajian-kajian baik yang bersifat umum atau bersifat khusus. Seperti Kevin Lynch dalam Good City Form dan Image of The City-nya, Christopher Alexander dalam Pattern Language-nya atau Hamid Shirvani dalam Urban Design Proccess dan lain sebagainya.
Pengelompokan dan penjabaran konsep-konsep tersebut menjadi elemen-elemen rancang kota diharapkan dapat dimengerti kepada pembacanya dalam mengidentifikasi, menilai kualitas lingkungan fisik kota maupun kepada praktisi dalam penerapannya.
Tujuan dari penulisan ini adalah memberikan gambaran tentang pengertian bentuk elemen-elemen konsep perancangan kota yang membentuk lingkungan fisik dan hubungannya dengan aspek kualitas kota baik fisik atau non fisik itu sendiri secara umum dan penerapan atau kasus yang berhubungan dengan elemen-elemen konsep perancangan tersebut.
Pembahasan penulisan dimulai dari pengertian akan perancangan kota dan elemen-elemennya, teori-teori yang melandasinya, fungsi dari elemen-elemen perancangan kota, dan hubungannya dengan faktor-faktor non fisik yang mempengaruhi bentuk fisik kota . Kemudian ditarik kesimpulan terhadap pentingnya elemen-elemen perancangan dan hubungan diantaranya, dan aspek non fisik apa yang berpengaruh pada elemen-elemen tersebut.

RANCANG KOTA

Rancang kota atau urban design merupakan bidang disiplin ilmu yang kompleks yang mencangkup banyak hal seperti disiplin ilmu arsitektur, lanskap, perencanaan perkotaan, teknik sipil dan transportasi, psikologi atau banyak hal lainnya.
Rancang kota menyangkut manajemen suatu pembangunan fisik dari kota. Pembatasan dari pengertiannya ditekankan pada suatu bentuk fisik berupa tempat (place) yang merupakan suatu ruang olah manusia yang dianggap mempunyai makna.
rancang kota menitik beratkan pada hubungan elemen fisik kota sebagai suatu bentuk jaringan yang tidak dapat berdiri sendiri, seperti pada disiplin ilmu arsitektur. Sifat rancang kota mengarahkan, membatasi masyarakat sebagai pemakai ruang kota dengan memberikan ruang hidup yang lebih baik.

ELEMEN RANCANG KOTA

Dalam penulisan ini, elemen-elemen rancang kota didasarkan atas tulisan Hamid Shirvani dalam Urban Design Proccess yang membagi elemen perancangan fisik perkotaan menjadi delapan kategori yaitu :

1. Peruntukan Lahan (Land Use)

Land use atau peruntukan lahan merupakan suatu bentuk penerapan rencana-rencana dasar dua dimensi ke dalam pembuatan ruang tiga demensi dan penyelenggaraan fungsi ruang tersebut.
Peruntukan lahan mempertimbangkan tujuan dan prinsip yang akan dicapai pada guna tertentu seperti guna hunian, komersil, rekrasional, industri dan sebagainya. Mempertimbangkan kondisi daya dukung alam terhadap kapasitas kegiatan yang ditampung, kondisi ini juga berkaitan dengan pemakaian lantai dasar bangunan dan kofisien lantai bangunan .
Keberadaan komunitas sekitar juga mempengaruhi pertimbangan tata guna lahan, dampak yang terjadi baik secara fisik maupun secara sosial. Pertimbangan penentuan peruntukan lahan tersebut sangatlah penting dan sensitif , karena menyangkut keberlangsungan daya dukung kehidupan pada suatu kota yang berhubungan baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan alam atau ekologi.
Menurut Shirvani (1985) permasalahan utama dari kebijakan land use adalah pertama, kurangnya keragaman guna di suatu area dengan kata lain pemisahan peruntukan lahan di wilayah perkotaan. Kedua , Salah dalam menyadari keberadaan faktor fisik dari lingkungan hidup dan alam dan terakhir infrastruktur.
Kebijakan peruntukan lahan suatu kota tak terlepas dengan keberadaan dan perencanaan infrastruktur dan hubungannya dengan kota lain. Permasalahan yang timbul dalam kebijakan tersebut saat ini adalah dengan adanya penyebaran yang tidak tertata dari fungsi lahan yang disebut juga sprawl. Dengan adanya akses jalan raya seperti tol atau arteri, yang menghubungkan pusat kota dengan daerah sekitar dan adanya kecenderungan pemilikan kendaraan bermotor yang tinggi mempercepat proses sprawl tersebut. Urban sprawl mengakibatkan timbulnya masalah sosial seperti perbedaan kontras terhadap pengelompokan tempat tinggal berdasarkan pendapatan, kurangnya interaksi sosial, permasalahan pencemaran lingkungan, hilangnya ruang terbuka atau lahan pertanian dan penghijauan, maupun timbulnya ruang-ruang kosong perkotaan.
Dalam Charter of the New Urbanism (2000) memandang permasalahan urban sprawl harus melihat dalam konteks dari skala metropolitan, dengan adanya hubungan pusat kota dan daerah pinggir kota, sampai pada lingkungan terkecil yaitu lingkungan neighborhood dan blok. Dengan konteks tersebut, kebijakan peruntukan lahan memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya permasalahan urban sprawl disamping hubungannya dengan elemen sirkulasi dan faktor sosial ekonomi masyarakat kota itu sendiri.
Menurut Roger Trancik (1986) kebijakan peruntukan yang tidak hati-hati seperti pemisahan peruntukan lahan kepada fungsi tersendiri, menggantikan kepadatan horzontal ke vertikal, dan pemisahan fungsi ruang tempat tinggal dengan tempat bekerja mempengaruhi terbentuknya’ruang yang hilang’ atau lost space.
Lost space menciptakan jurang pemisah sosial, pengelompokan pemukiman menjadi suatu kantong pemukiman atau enclave, menghilangkan keberlangsungan pejalan kaki, dan juga berkaitan dengan permasalahan sprawl.
Dari kebijakan peruntukan lahan juga dapat menimbulkan permasalahan ‘pod development’ atau semacam pembangunan yang berdiri sendiri. Sebagaimana ditulis oleh Ford (2000) bahwa di dalam pod development, setiap peruntukan seperti shopping mall, outlet siap saji, taman perkantoran, apartemen, hotel, kelompok-kelompok perumahan, dsb. Disusun sebagai elemen terpisah, dikelilingi oleh ruang parkir dan biasanya memiliki akses masuk sendiri dari jalan kolektor atau jalan distribusi utama. Idenya adalah memisahkan atau mendindingi peruntukan lahan pada lingkungan sosial dan fungsional yang tersendiri.
Bentuk pod development juga menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan urban sprawl maupun terbentuknya ruang-ruang yang hilang atau lost space.
Kebijakan peruntukan lahan yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai permasalah seperti yang tersebut diatas, terutama kebijakan pemisahan peruntukan lahan yang berdiri sendiri. Pendekatan penyelesaian permasalahan tersebut dari elemen peruntukan lahan adalah perdekatan terhadap peruntukan lahan campuran atau yang disebut sebagai mixed use.
Pada saat ini peruntukan lahan dua dimensi dijabarkan ke dalam ruang yang tidak terbatas pada peruntukan lantai dasar tetapi juga kepada peruntukan vertikalnya sehingga memunculkan suatu bentuk peruntukan campuran (mixed use). Peruntukan campuran merupakan penerapan yang menentukan hubungan antara fungsi-fungsi kegiatan yang saling mendukung pada suatu lokasi peruntukan. Peruntukan campuran di area perkotaan mempunyai arti lebih karena sangat besar hubungan dengan pemanfaatan intensitas lahan yang semakin terbatas, kebutuhan keragaman kegiatan pada satu lokasi, efisiensi energi dengan mempersingkat perjalanan, faktor ekonomi maupun faktor sosial yang mampu memberikan suasana yang lebih hidup, menarik, bergairah dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat untuk berinteraksi.
Menurut Shirvani (1985) percampuran kegunaan adalah kunci permasalahan dalam pengambilan kebijakan peruntukan lahan. Kegiatan 24 jam dengan perbaikan sirkulasi melalui fasilitas-fasilitas pejalan kaki, penggunaan yang lebih baik dari sistem infrastruktur, analisis yang berdasarkan lingkungan hidup alami dan perbaikan-perbaikan infrastruktur mendukung fungsi peruntukan campuran. Kegiatan pada tingkat jalur pejalan kaki dalam peruntukan campuran memegang peranan penting, ia dapat menciptakan ruang yang lebih manusiawi, menyenagkan dan ramah lingkungan.
Akan tetapi peruntukan campuran tidak akan berhasil pada tingkat konsentrasi kegiatan jalur pejalan kaki apabila tidak didukung oleh tata massa dan bangunan yang mendukung hal tersebut. Pola massa urban perimeter block atau pola bangunan yang menempatkan muka lantai dasar menempel dengan garis jalan lebih mendukung kegiatan jalur pejalan kaki dibanding pola free standing building atau bangunan tinggi yang berdiri di ruang terbuka.
Permasalahan kebijakan peruntukan lahan dapat dilihat pada kasus seperti di Manggarai misalnya. Keberadaan stasiun kereta api sebagai sarana komuter tidak dapat membangkitkan kegiatan secara maksimal, dilihat hubungannya dengan peruntukan lahan yang tidak memperkuat posisi stasiun sebagai transit point utama. Peruntukan industri yang mengurangi potensi kawasan, peruntukan perumahan yang tidak didukung akses yang memadai ke ruang umum dan transit maupun peruntukan ruang terbuka yang sangat minim yang dapat menimbulkan kerawanan interaksi sosial masyarakatnya. Rencana 2010 pemerintah DKI telah mempertimbangakan peruntukan campuran (retail, kantor dan hunian) pada kawasan Manggarai dan memindahkan peruntukan industri ke luar kota sebagai bentuk penyelesaian permasalahan lewat kebijakan peruntukan lahan.
Peruntukan lahan secara makro pada tingkat hubungan kota Jakarta sebagai pusat kegiatan dan pergerakan terhadap daerah sekelilingya yaitu Tangerang, Depok, Bogor dan Bekasi, juga menimbulkan permasalah-permasalah urban sprawl, seperti keberadaan pemukiman-pemukiman menengah keatas atau real estate pada daerah sekeliling Jakarta tersebut yang membentuk enclave atau pod development seperti yang telah diuraikan diatas.
Dari fungsi hingga pentingnya pengaturan terhadap peruntukan lahan sebagai elemen dari rancang kota, tidak terlepas hubungannya dengan akses maupun karakteristik kegiatan suatu ruang kota. Fungsi peruntukan campuran pada saat ini menjadi vital dalam menyelesaikan permasalahan ruang kota yang ada lewat pengaturan peruntukan lahan.

2. Tata Massa dan Bentuk Bangunan (Building Form and Massing)

Bentuk dan tata massa bangunan pada awalnya menyangkut aspek-aspek bentuk fisik oleh rona spesifik atas ketinggian, pengaturan muka bangunan (setback) dan penutupan (coverage). Kemudian lebih luas menyangkut masalah penampilan dan konfigurasi bangunan. Disamping ketinggian dan kepejalan, penampilan (appearence) dipengaruhi oleh warna, material, tekstur dan fasade, style, skala, dsb.
Spreiregen (1965) menyatakan isu-isu kritis yang berhubungan dengan bentuk bangunan dan massa. Pertama adalah ‘skala’, yang berhubungan aspek visual manusia (human vision), sirkulasi, bangunan pada lingkungan tempat tinggal dan ukuran lingkungan tempat tinggal. Selanjutnya adalah ruang perkotaan sebagai sebuah elemen utama dari rancang kota dan pentingnya penekanan pada bentuk, skala dan rasa keterlingkupan (sense of enclosure) dan jenis-jenis dari ruang perkotaan. Dan yang terakhir adalah urban mass atau massa perkotaan yang termasuk bangunan-bangunan, permukaan tanah, dan segala objek yang disusun untuk membentuk ruang perkotaan dan membentuk pola-pola kegiatan.
Peruntukan lahan juga berperan dalam pengaturan tata massa dan bentuk bangunan seperti penerapan pada peruntukan campuran pusat kota yang diarahkan pada ketinggian yang lebih dari peruntukan lainnya. Peruntukan lahan komersil atau retail pada lantai dasar menjadi pertimbangan pengaturan pemunduran bangunan yang diletakan pada garis kavling atau zero setback untuk mendekatkan dengan kegiatan alur pejalan kaki. Peletakan tersebut dapat memberikan keuntungan pada kedua sisi, memudahkan pengenalan produk retail dan memudahkan pencapaian transaksi dari fungsi retail pada bangunan kepada pejalan kaki dan memberikan keberlangsungan pejalan kaki dalam pergerakan dan mampu menarik perhatian pejalan kaki untuk berbelanja pada fungsi tersebut.
Aspek visual disamping pengaturan pemunduran lantai bawah juga dicapai dengan pengaturan pemunduran lantai atasnya dimana arah pencahayaan alami menjadi aspek yang sangat penting dalam aspek visual tersebut. Kesan harmonis dan tidak monoton (diverse) dicapai dengan pengaturan muka bangunan (façade) dengan pewarnaan, tekstur, keseimbangan lebar muka bangunan terhadap lebar jalan, gaya (style), dan ketinggian. Ketegasan tepi bangunan dan vista koridor jalan juga dapat dibentuk dengan pengaturan massa bangunan, setback, ketinggian sehingga ruang jalan memberikan arahan dan kenyaman pengguna jalan.
Konfigurasi bangunan sangat mempengaruhi kualitas visual dan berhubungan erat dengan elemen sirkulasi yaitu jalan dan elemen ruang terbuka. Keterlingkupan (enclosure) dapat dibentuk dari konfigurasi bangunan tersebut. Roger Trancik (1986) menekankan keterlingkupan berdasarkan bangunan arsitektural sebagai ‘ruang keras’ atau hard space. Carmona, et al. (2000) memaparkan keterlingkupan merupakan ruang positif , ruang luar memiliki bentuk yang pasti, tersendiri. Bentuknya yang paling penting adalah keberadaan bangunan yang memilikinya.
Keterlingkupan yang di bentuk oleh tata bangunan memiliki skala yang dapat dirasakan secara visual oleh manusia. Gari Robinette (1972) menyatakan, keterlingkupan penuh didapat ketika dinding bangunan yang mengelilingi menciptakan perbandingan 1:1 atau mengisi 45 derajat sudut pandang kerucut. Ambang keterlingkupan terjadi pada perbandingan 2:1 antara jarak ruang terbuka horizontal dengan ketinggian dinding bangunan. Keterlingkupan minim didapat dari perbandingan 3:1 dan hilangnya keterlingkupan terjadi pada perbandingan 4:1 atau lebih besar. Yosinobu Ashihara (1981) menghubungkan keterlingkupan dengan pengaruhnya terhadap keguanaan dan efek perasaan manusia. Kesan intim dapat dirasakan pada jarak ke perbandingan ketinggian bangunan antara 1 sampai 3. Dan perbandingan 6:1 atau lebih menciptakan ruang umum atau public. Untuk perbandingan yang dianggap ideal dari keterlingkupan ini adalah perbandingan antara jarak ke ketinggian bangunan 2:1. pada perbandingan ini sisi atas dinding bangunan masih terlihat pada sudut 27 derajat diatas bidang horizontal mata manusia. Tapi dari skala nilai perbandingan keterlingkupan ini yang harus diperhatikan adalah jarak maksimal yang masih dapat dirasakan. Karena walau nilai perbandingan dianggap ideal tetapi jarak horizontal antar bangunan sangat jauh, kesan humanis tetap akan hilang.
Kemudahan pengenalan dengan penekanan pada landmark ruang kota tidak hanya dicapai dengan bentuk simbolis pada ruang terbuka umum seperti tugu, monumen, dsb. Tapi dapat diolah melalui konfigurasi penataan ini. Penekanan pengaturan pada simpul jalan (node) merupakan salah satu bentuk kemudahan pengenalan (legibility) tersebut.
Keseluruhan konfigurasi dan penampilan tata massa dan bentuk bangunan juga dapat diarahkan pada tema daerah yang akan dicapai tercapai kualitas citra (image) district seperti pada tulisan Kevin Lynch dalam Image of the City.
Pengaturan ini juga berhubungan dengan aspek cuaca (climate) yang berbeda-beda pada suatu tempat tertentu. Seperti pada kondisi iklim tropis, pengaturan massa bangunan dan bentuk jalan diarahkan pada bentuk grid yang menerus dan tidak memecah sirkulasi penghawaan, menghidari ruang coutyard yang tidak memiliki bukaan ventilasi menyilang (cross ventilation) dan peragaman ketinggian bangunan pada blok untuk dapat memberikan aliran udara yang menyeluruh. Penyinaran yang besar yang berpengaruh pada kenyamanan pejalan kaki membutuhkan bentuk perlindungan yang salah satunya dapat dicapai dengan pengaturan setback lantai dasar fungsi komersil pada ruang umum dengan membentuk arcade atau collonade sepanjang fungsi ruang tersebut.
Contoh dari kasus pengaturan massa dan bentuk bangunan adalah seperti yang terjadi pada koridor jalan Margonda Depok. Pengaturan pemunduran muka bangunan yang tidak konsisten, dan tampilan fasade yang tidak diatur menyebabkan kualitas visual dan keterlingkupan dari bangunan tidak maksimal. Skala perbandingan keterlingkupan tidak konsisten sehingga keberlangsungan tidak tercapai, dinding kosong terlihat dari perbedaan ketinggian dan pemunduran muka bangunan, harmonisasi fasade hilang dengan ketiadaan hubungan pengaturan tekstur, bukaan, skala dan warna.
Aspek visual memegang peranan penting pada pembentukan ruang kota yang dapat dicapai dari tata massa dan bentuk bangunannya disamping faktor kegiatan dan faktor iklim setempat. Bentuk bangunan dan tata massa tidak terlepas dengan hubungannya terhadap elemen lain dari rancang kota tersebut. Sehingga keterpaduan hubungan antar elemen dan faktor non fisik menjadi pertimbangan yang penting dalam mencapai kualitas perancangan fisik kota melalui elemen tata massa dan bentuk bangunannya.

3. Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking)

Sirkulasi merupakan bagian terpenting dari elemen rancang kota. Ia dapat membentuk mengarahkan dan mengontrol pola-pola kegiatan dan pola-pola pembangunan di dalam kota, sebagaimana sistem transportasi dari jalan-jalan umum, jalur-jalur pejalan kaki dan sistem transit menghubungkan dan mengutamakan pada pergerakan. Sirkulasi juga dapat menjadi suatu prinsip yang menstrukturkan, menegaskan dan memberikan karakteristik pada bentuk-bentuk fisik perkotaan seperti pembedaan suatu daerah, kegiatan suatu tempat, dsb.
Dalam rancang kota jenis alur sirkulasi menekankan pada bentuk street yang membedakan dengan bentuk road. Pengertian road adalah alur sirkulasi kendaraan bermotor. Sedangkan pengertian street dalam Public Place-Urban Space (Carmona, 2003) dan menurut Roger Trancik (1986) adalah suatu bentu alur sirkulasi yang memfasilitasi pemisahan pergerakan kendaraan dan pejalan kaki . Dari fungsi yang ada tidak sekedar sebagai alur pergerakan tetapi sebagai tempat kegiatan sosial maupun pemegang peranan penting dalam aspek visual suatu kota. Dengan demikian, alur sirkulasi yang memegang peranan penting dalam rancang kota adalah yang memiliki pengertian tersebut.
Jalan sebagai bentuk sirkulasi memegang peranan penting dalam suatu kota, pertama orang mengenali suatu kota melalui jalannya, ketika orang ingin mencari suatu tempat di suatu kota, jalan merupakan hal pertama yang di pelajarinya, seperti ditulis oleh Jane Jacob (1961): ‘Pikirkan suatu kota, dan apa yang terlintas di dalam pikiran? Itu adalah jalan-jalannya. Apabila jalan suatu kota terlihat penting, maka kota tersebut menjadi penting dan apabila ia terlihat gersang maka kota terasebut menjadi gersang.’
rancang kota tak terlepas dengan aspek visual sehingga pengolahan jalan sebagai alur sirkulasi haruslah menjadi elemen ruang terbuka visual yang positif dimana elemen-elemen fisik di ruang jalan tersebut haruslah terintegrasi dengan baik, membentuk ruang visual yang dapat dinikmati pengguna jalan. Seperti pengaturan tata bangunan dan massa, treatment pola hijau, pengaturan tempat atau lahan parkir, tata informasi (signage), elemen street furniture, dsb. Dari aspek visual tersebut banyak hal yang dapat dicapai melalui pengolahan jalan seperti pemberian sifat legibility atau pengenalan suatu tempat atau daerah, adanya ruang yang memberikan kesan humanis dengan skala manusia, sifat menerus (continuity), meningkatkan aspek estetika, menghilangkan sifat monoton yang menimbulkan kejenuhan dalam pergerakan seperti pengaturan tata letak lahan parkir yang dapat menimbulkan kekosongan ruang visual jalan, dsb.

Hiraki jalan juga menentukan dalam rancang kota. Ia menentukan zoning ruang umum (public) dan ruang pribadi (privat), menentukan tingkat kecepatan pergerakan, penghubung ruang-ruang umum utama dan penempatan transit point dan moda Selain jalan, parkir merupakan tempat yang sangat berhubungan dengan elemen sirkulasi.
Shirvani (1985) menyatakan pada saat ini tujuan yang ingin dicapai pada perancangan alur sirkulasi meliputi perbaikan mobilitas pada CBD, menghindari penggunaan kendaraan pribadi, menganjurkan penggunana transportasi umum dan perbaikan akses ke pusat bisnis terpadu (CBD).
Permasalahan sirkulasi pada ruang kota pada saat ini tak terlepas dengan meningkatnya kebutuhan kendaraan bermotor dan kebijakan peruntukan seperti yang telah disebutkan pada penjelasan mengenai peruntukan lahan diatas. Permasalahan yang terjadi dari perancangan sirkulasi antara lain timbulnya pemisahan ruang kota dan kegiatannya akibat adanya jalan bebas hambatan atau jalan dengan kapasitas pergerakan yang tinggi. Ketiadaan penyediaan alur sirkulasi pada jenis pergerakan tertentu juga menimbulkan konflik pada pergerakan lain. Minimnya kontrol terhadap penyalahgunaan fungsi alur pergerakan pejalan kaki menjadi fungsi lain sehingga menimbulkan ketidak nyamanan dan ketidak amanan pada pejalan kaki itu sendiri maupun pada pengguna alur sirkulasi yang lain.
Kasus permasalahan sirkulasi sangat dominan di kota besar di Indonesia, seperti pada kota Jakarta misalnya. Kepadatan mobil di Jakarta adalah 170 mobil perseribu penduduk dan masih rendah dibanding Singapura yang mencapai 300 unit perseribu penduduk. Akan tetapi kondisi yang terlihat adalah kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas. Permasalahan ini tak terlepas dari prilaku pengguna kendaraan, kebijakan pemerintah terhadap pengaturan mobil pribadi dan sarana transportasi umum dan kebijakan terhadap peruntukan lahan maupun kontrol terhadap fungsi lahan kota.
Kebutuhan luas tempat parkir tak terlepas dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan kondisi fasilitas angkutan umum kota. Keberadaan parkir itu sendiri saat ini juga tak terlepas dari kegiatan komersial pusat kota dimana mobil sebagai simbol gaya hidup kota terutama golongan menegah ke atas tak terlepas dari hubungannya dengan gaya hidup konsumtif yang mengarah pada akses ke lokasi perbelanjaan yang memfasilitasinya.
Keberadaan parkir dapat bersifat positif yaitu memfasilitasi pengguna mobil dan mengaktifkan tempat perbelanjaan pusat kota dan dapat bersifat negatif secara visual dengan memberikan ruang pada bahu jalan dapat mengurangi kecepatan kendaraan bermotor dan menambah keamanan bagi pedestrian.
Pengolahan ruang parkir tak terlepas dengan elemen-elemen lain dalam rancang kota. Seperti pengaturan peruntukan campuran pada bangunan parkir dimana lantai bawah sepanjang jalur pedestrian (sidewalks) bangunan parkir digunakan sebagai fungsi retail yang dapat memberikan keberlangsungan pengguna jalur pedestrian atau penggabungan ruang parkir antara fungsi suatu tempat kegiatan dan waktu kegiatan yang berbeda. Juga penempatan lahan parkir dapat diatur pada ruang–ruang di belakang bangunan komersial yang menempel pada jalan sehingga koridor jalan tidak terputus dengan lahan parkir.
Kencenderungan perancangan lahan parkir saat ini pada pusat perbelanjaan di kota Jakarta salah satunya adalah penempatanya pada lantai atas bangunan komersial tersebut sehingga mengarahkan penggunjung untuk melewati fungsi kegiatan perbelanjaan pada setiap lantai di bawahnya. Akan tetapi sebagian besar penempatan lahan parkir pada fungsi retail maupun perkantoran di kota Jakarta selain pada basement juga menggunakan ruang terbuka hasil dari peraturan pemda terhadap ketentuan KDB dan GSB (setback). Dengan kondisi ini ruang kota yang dibentuk masih didominasi oleh ruang parkir, sehingga kualitas kota yang dibentuk tidak maksimal.

4. Ruang Terbuka (Open Space)

Menurut Shirvani (1985) ruang terbuka ditegaskan dalam arti semua landscape, hardscape (jalan, jalur pejalan kaki, dan sebebagainya), taman maupun ruang-ruang rekreasi di dalam ruang perkotaan. Kantong-kantong kosong sebagai lubang yang besar dalam ruang perkotaan tidak dikategorikan dalam ruang terbuka. Disini ruang terbuka yang dimaksud tidak hanya sebagai sekedar area kosong tetapi lebih ditekankan pada nilai yang dimilikinya.
Ruang terbuka umum/publik menurut Rustam Hakim (1987) adalah bentuk dasar dari ruang terbuka di luar bangunan, dapat digunakan oleh publik (setiap orang) dan memberikan bermacam-macam kegiatan.
Sebagai civic space, ruang terbuka publik memiliki arti suatu ruang luar yang terjadi dengan membatasi alam dan komponen-komponennya (bangunan) mengunakan elemen keras seperti pedestrian, jalan, plasa, pagar beton dan sebagainya; maupun elemen lunak seperti tanaman dan air sebagai unsur pelembut dalam lansekap dan merupakan wadah aktifitas masyarakat yang berbudaya dalam kehidupan kota.

Fungsi ruang terbuka dapat dijabarkan sebagai berikut:
Fungsi umum:
• Tempat bersantai.
• Tempat komunikasi sosial.
• Tempat peralihan, tempat menunggu.
• Sebagai ruang terbuka untuk mendapatkan udara segar dengan lingkungan.
• Sebagai pembatas atau jarak diantara massa bangunan
Fungsi ekologis:
• Penyegaran udara.
• Penyerapan air hujan.
• Pengendalian banjir.
• Memelihara ekosistem tertentu.
• Pelembut arsitektur bangunan.

Harvey S. Perloff (1969) open space pada pembentukannya mempunyai fungsi:
• Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara ke dalam bangunan terutama bangunan tinggi di pusat kota.
• Menghadirkan kesan perspektif dan vista pada pemandangan kota (urban scene), terutama pada kawasan padat di pusat kota.
• Menyediakan area rekreasi dengan bentuk aktifitas yang spesifik.
• Melindungi fungsi ekologis kawasan.
• Memberikan bentuk sold-void kawasan kota.
• Sebagai area cadangan bagi pengguna dimasa mendatang(cadangan area pengembangan).

Dilihat dari fungsi ruang terbuka tersebut manfaat ruang terbuka baik secara fisik perkotaan yang berkaitan dengan fungsi ekologi maupun secara sosial mempunyai arti penting terhadap keberlangsungan kota itu sendiri.
Dalam aspek visual, ruang terbuka dapat diolah dengan membentuk kesan keterlingkupan dan unsur bangunan disekelilingnya maupun dengan unsur natural seperti tata hijau membantu pembentukan keterlingkupan pada ruang terbuka. Keterlingkupan dicapai pada skala perbandingan tertentu yang telah disebut pada pembahasan elemen tata massa dan bentuk bangunan di atas. Akan tetapi kualitas visual dari ruang terbuka menurut Alexander et al. (1977) tidak harus dicapai dengan keterlingkupan ruang. Misalnya ketika orang merasa nyaman pada pantai yang terbuka. Keterlingkupan menciptakan rasa aman dan lebih pribadi, pada ruang terbuka penataan tata hijau dan street furniture maupun lanskap sangat berperan dalam menciptakan rasa tersebut.
Permasalahan yang ada di kota Jakarta adalah minimnya keberadaan ruang terbuka yang digunakan sebagai ruang umum kota terutama yang bersifat rekreatif dengan tata hijau yang memadai. Seperti kasus pada kelurahan Manggarai, peruntukan ruang terbuka sepanjang sungai Ciliwung beralih fungsi menjadi rumah tinggal dan tempat usaha, pada daerah pemukiman padat ruang terbuka sangat minim sehingga kegiatan rekretif dan sosial memanfaatkan alur sirkulasi seperti jalan dan daerah inspeksi rel kereta api.
Bentuk ruang terbuka bermacam-macam seperti telah disebutkan diatas. Pada ruang terbuka di Indonesia, kecenderungan yang ada adalah pemanfaatan ruang terbuka khususnya sebagai tempat berinteraksi sosial terjadi pada pola ruang terbuka linear, dan alur sirkulasi terutama sirkulasi perkampungan memegang peranan penting dari konsep ruang terbuka tersebut.

5. Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)

Untuk waktu yang lama perencanaan untuk pejalan kaki di dalam rancang kota terabaikan, ketika keberadaan shopping mall pada pusat kota tumbuh subur pejalan kaki menjadi faktor utama dari elemen perancangan kota. Mereka adalah suatu sistem yang nyaman sebagaimana elemen pendukung perbelanjaan dan juga tenaga hidup pada ruang perkotaan.
Sistem jalur pejalan kaki yang baik dapat mengurangi ketergantungan dengan kendaraan bermotor, meningkatkan perjalan dalam pusat kota , mempertinggi aspek lingkungan hidup dengan memperkenalkan sistem skala manusia, menciptakan kegiatan perbelanjaan dan pada akhirnya membantu perbaikan kualitas udara.
Pentingnya kegiatan pejalan kaki sebagai elemen dari perancangan kota pada saat ini muncul setelah adanya konsep New Urbanism yang menempatakan hubungan jarak tempuh pejalan kaki dengan transit point sebagai bentuk dasar konsep rancang kota. Walaupun konsep tersebut sudah ada pada awal abad 20, akan tetapi permasalahan yang ada dari faktor sosial ekonomi dan pelestarian lingkungan membuat konsep tersebut menjadi penting untuk diangkat dan dikembangkan lagi secara lebih luas. Dasar dai konsep rancang kota tersebut adalah jarak tempuh pejalan kaki orang dewasa normal selama 5 menit atau + 400m terhadap transit point yang dapat mempengaruhi elemen-elemen perkotaan contohnya adalah; peruntukan lahan tempat tinggal, ruang umum, akses baik akses pejalan kaki itu sendiri maupun kendaraan bermotor, besaran blok, aspek visual kota maupun aspek lingkungan alam yang berhubungan dengan ruang fisik kota.
Kegiatan perbelanjaan atau retail berperan sangat besat terhadap keberlangsungan pejalan kaki. Menurut Amos Rapoport (1977) : dilihat dari kecepatan rendah pejalan kaki, terdapat keuntungan karena dapat mengamati lingkungan sekitar dan mengamati obyek secara detail serta mudah menyadari lingkungan sekitar. Dari kondisi pejalan kaki tersebut keberadan fungsi retail sangat mendukung keberlangsungan pejalan kaki pada jalur pergerakannya. Secara psikologis pengalihan arah visual dalam mengamati lingkungan sekitar yang tidak monoton dan atraktif dapat menurunkan tingkat kebosanan dalam melakukan pergerakan dengan jalan kaki
Keberadaan pejalan kaki di kota Jakarta tidak mendapat prioritas dalam rancang kota. Jalur pejalan kaki yang tersedia berupa trotoar pada sisi jalan yang tidak semua jalan memilikinya. Keberadaan trotoar itu pun tidak sepenuhnya berfungsi sebagai alur pejalan kaki. Konflik terjadi oleh bermacam-macam kepentingan seperti; kegiatan pedagang kaki lima, perluasan kegiatan pada bangunan didekatnya, perletakan tata hijau, tata informasi maupun infrastruktur kota yang tidak memperhatikan dimensi kebutuhan pergerakan pejalan kaki, hingga pergerakan kendaraan roda dua yang memakai fasilitas trotoar tersebut. Permasalahan trersebut akibat dari tidak adanya kebijakan yang memprioritaskan pejalan kaki pada ruang perkotaan dan rancang kota yang tidak tepat juga kesadaran mayarakat yang rendah terhadap pentingnya jalur pejalan kaki terhadap kegiatan ruang kota.
Alur pejalan kaki saat ini adalah elemen rancang kota yang essensial untuk dirpioritaskan dalam pembentukan kota. Ia perkotaan lainnya. Kegiatan yang membangkitkan keberlangsungan dan keberadaan pejalan kaki menjadi aspek fisik yang penting seperti kegiatan retail atau belanja yang dapat diperoleh dari sektor formal maupun informal. Dan yang lebih penting lagi adalah kualitas visual suatu kota lebih terasa dicapai lewat pengalaman estetika pejalan kaki yang memiliki kesempatan yang lebih besar dibanding dengan pengguna kendaraan bermotor. Oleh karena itu kebijakan rancang kota terutama di Indonesia lebih dapat memprioritaskan keberadaan pejalan kaki sebagai unsur utama penggunan ruang kota.

6. Pendukung Kegiatan (Activity Support)

Pendukung kegiatan merupakan suatu elemen kota yang mendukung dua atau lebih pusat kegiatan umum yang berada di kawasan pusat kota yang mempunyai konsentrasi pelayanan yang cukup besar. Keberadaannya tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan utama pada suatu lokasi yang dapat menghubungkan kegiatan utama tersebut. Pendukung kegiatan tidak hanya bersifat horizontal pada ruang luar akan tetapi juga berada pada kegiatan vertikal pada suatu ruang dalam atau bangunan seperti peruntukan lahan campuran (mixed use).
Keberadaan pendukung kegiatan tidak terlepas pada kegiatan yang diarahkan pada bentuk keberlangsungan (continuity), bersifat hidup (livability) dan kegembiraan atau kesenangan (excitement).
Bentuk-bentuk pendukung kegiatan dapat berupa elemen fisik kota seperti tata ruang luar, street furniture dan peruntukan lahan yang menunjang hubungan pada kegiatan utama kota. Dapat juga diarahkan pada kegiatan yang berhubungan dengan bagaimana kenyamanan maupun keberlangsungan secara psikologis dapat dicapai untuk mendukung pergerakan pada jalur pencapaian pada dua atau lebih pusat-pusat kegiatan umum pada suatu kota. Pada jalur pedestrian, kualitas penataan street furniture, penghijauan, pavement, signage dan tampilan dan penataan bangunan yang membingkai ruang visual pejalan kaki dan sebagainya, mempengarruhi keberlangsungan suatu kegitan pergerakan tersebut. Elemen-elemen fisik ini merupakan salah satu bentuk dari pendukung kegiatan tersebut.
Bentuk lain yang penting dari pendukung kegiatan adalah suatu kegiatan yang dapat memberikan keberlangsungan secara psikologis dan dapat menghubungkan kegiatan-kegiatan utama yang ada, kegiatan tersebut sekarang ini yang menjadi penting adalah kegiatan retail baik yang diarahkan pada fungsi kegiatan di dalam bangunan sepanjang alur pergerakan maupun pada ruang terbuka yang dapat berupa pedagang kaki lima.
Pendukung kegiatan sebagai salah satu elemen perancangan kota sangat berkaitan dengan pertumbuhan fungsi-fungsi kegiatan umum ruang kota dimana menurut Aldo Rossi (1982) kota itu sendiri terbentuk dengan adanya konsentrasi elemen-elemen fisik spasial yang selalu tumbuh dan berkembang dan karena adanya interaksi kegiatan manusia yang terakumulasi pada satuan waktu yang tidak terbatas. Dengan adanya pendukung kegiatan ini diharapakan mampu menciptakan ruang kota yang hidup, berkelanjutan, dan mampu menintregrasikan dan menjadi penghubung kegiatan utama kota.
Contoh kasus keberadaan pendukung kegiatan seperti di Jalan Malioboro Jogjakarta. Magnet kegiatan utama adalah pada Stasiun kereta api Tugu di ujung utara jalan dan Kompleks keraton maupun bangunan penting sekitarnya di ujung selatan jalan tersebut. Keberadaan fungsi retail pada bangunan sepanjang jalan dan keberadaan kaki lima dan juga perancangan street furniture yang kontekstual merupakan suatu bentuk pendukung kegiatan yang membuat suasana jalan Malioboro menjadi hidup terutama faktor keberlangsungan pergerakan pajalan kaki lima pada jalan tersebut. Dari contoh kasus tersebut, perancangan pendukung kegiatan harus memperhatikan kontekstual lingkungan, karakteristik fisik maupun non fisik dan hubungannya terhadap elemen-elemen leinnya terutama pejalan kaki sebagai pengguna ruang utama dan pemberi kehidupan sosial kota.

7. Tata Informasi (Signage)

Tata informasi menjadi elemen visual yang penting dalam ruang kota. Keberadaanya mempengaruhi pengguna jalan baik pejalan kaki maupun pengendara kendaraan dengan memberikan bentuk untuk dikenali menjadi tujuan utama dari tata informasi tersebut.
Bentuk-bentuk tata informasi dapat berupa papan reklame komersial, penunjuk jalan, tanda-tanda lalulintas atau informasi umum bagi pengguna jalan setempat.
Kevin Lynch dalam Managing the Sense of Region (1976 hal. 30-31) menyatakan bahwa penataan informasi harus dapat dikenali (legible), teratur, mudah dibaca (readible), adanya kesinambungan antara bentuk dan pesan (congruent) dan pemasangan pada daerah yang tepata sesuai dengan isi pesan yang akan ditujukan (rooted).
Keberadaan tata informasi sangat penting terutama dengan perkembangan kondisi ekonomi suatu kota, tata informasi dapat menjadi alat untuk mempromosikan suatu produk atau menjadi tanda suatu tempat usaha untuk dapat dikenali kepada masyarakat pamakai ruang publik kota. Dengan keberadaanya tentunya secara fisik mempengaruhi ruang kota dan hubungannya dengan elemen ruang kota lainnya seperti muka bangunan, ruang pedestrian, street furniture, dsb. Halprin (1980:68) : Ada area papan-papan tanda reklame yang luas yang mengalihkan jalan-jalan kota kita menjadi
sebuah kesemrawutan, tidak berakhir, kejelekan yang linear. Contoh yang tipikal terlihat dimana-mana, semacam mimpi buruk perkotaan tidak cukup baik dalam pengaturan material yang memberikan kesan fantastis dan menggairahkan. Sebuah campur aduk, gigantisme yang membingungkan, pengelompokan yang terputus-putus. Kebalikan dari ini, tentunya adalah keseragaman yang sangat sopan dari papan tanda di dalam beberapa pusat-pusat perbelanjaan yang baru dan elegan, dimana segala sesuatusecara hati-hati dikontrol di dalam rasa yang baik dan secara lengkap tidak penting. Ada sebuah titik dimana suatu bentuk yang baik dapat diras menjadihambar.
Pengaturan papan tanda reklame maupun tanda-tanda informasi umum sudah banyak diatur sesuai dengan fungsi dan kegiatan ruang dalam berbagai panduan perancangan kota (guidelines). Pengaturan berupa ukuran dimensi, kesesuaian dengan konteks lingkungan baik bentuk, warna, pencahayaan, material atau juga dengan tema suatu daerah atau lingkungannya. Keberadaannya juga tidak menggangu fungsi lain seperti pengguna jalan atau fungsi infrastruktur kota.
Pengaruh yang ditimbulkan secara positif dari pengaturan tata informasi adalah kontinuitas visual, harmoni dengan elemen perkotaan yang lain atau juga dapat memberikan kesan skala manusia pada pengguna jalur pedestrian. Ia dapat menaungi dan memberikan ruang kanopi pada jalur pejalan kaki. Pada pengguna kendaraan bermotor penempatan tata informasi dapat memperlambat laju kecepatan dengan mengalihkan sejenak perhatian pengendara.
Menurut Yoshinobu Ashihara (1983) penampilan ruang luar dipengaruhi dua hal yaitu ruang luar depan bangunan sebagai raut muka utama/primer (primary profiles) dan sesuatu yang melekat dan menonjol pada bangunan yang bersifat sementara disebut sebagai raut muka sekunder (secondary profiles). Disini signage/signboard merupakan secondary profiles.
Kualitas ruang yang dilihat oleh pejalan kaki pada kondisi dekat secara paralel dengan garis bangunan akan didominasi oleh secondary profiles dan muka bangunan tidak terlihat tetapi semakin ia bergerak jauh dari tepi jalan muka bangunan mulai memasuki jangkauan pandangan pengamat. Disini kondisi perletakan signboard tegak lurus dengan muka bangunan. Dengan adanya arah pengamatan dan keberadaan signboard, dimensi jalan juga berpengaruh. Semakin sempit jalan keberadaan signboard sebagai bagian yang menonjol keluar pada bangunan semakin mengaburkan tampak muka bangunan tersebut (façade).
Contoh keberadaan signboard secara visual berpengaruh seperti pada lokasi perbelanjaan di Pasar Baru. Bentuk perbelanjaan di tempat tersebut diarahkan sebagai pedestrian shopping mall dimana tempat parkir, akses kendaraan dipisahkan dengan pergerakan pejalan kaki. Tidak seperti pada lokasi perbelanjaan Blok M antara stasiun bis dengan bangunan Melawai Plaza yang juga tertutup bagi pergerakan kendaraan dan parkir, keberadaan signboard sepajang akses tersebut tidak dapat dicapai secara visual. Keberadaan kaki lima yang padat dengan bentuk tenda membatasi sudut pandangan pejalan kaki sehingga pandangan mata tertuju pada display barang yang dijual disepanjang koridor tersebut.

8. Pelestarian (Preservation)

Preservasi tidak selalu berhubungan dengan struktur dan tempat-tempat yang memiliki arti sejarah. Di dalam pandangan yang lebih luas ia juga dapat berhubungan dengan segala struktur dan tempat-tempat eksisting baik sememtara atau permanen dalam segi ekonomi mempunyai sifat yang vital dan signifikan secara budaya.
Bentuk pelestarian selain ditujukan kepada bangunan atau tempat-perkampungan atau ruang umum perkotaan (seperti plaza, alun-alun tempat perbelanjaan, dsb. ). Pelestarian terhadap bentuk kegiatan-kegitan ruang umum yang signifikan juga perlu diadakan.
Pelestaraian tidak anti kepada perubahan, ia tidak menganjurkan untuk membangun kembali bangunan sejarah yang telah hancur, menampilkan tema historis ke dalam bangunan baru atau menyimpan semua bangunan tua hanya untuk pelestarian tersebut. Pelestarian sejarah mengenalkan desain yang baik dari masa lampau dan menempatkan peristiwa yang luar biasa dari masa lampau yang terjadi. Ia juga memelihara lingkungan dengan karakteristik yang khusus dan menganjurkan desain baru yang bagus, apakah hal tersebut di dalam konstruksi bangunan baru atau modifikasi dari bangunan yang telah ada berkesesuaian dengan dengan yang lama.
Kasus pelestarian kawasan lama di Jakarta adalah seperti pada kawasan Jakarta Kota di koridor Kali Besar. Perancangan pelestarian kawasan tersebut bermaksud menghubungkan alur bersejarah asal mula kota Jakarta dari pelabuhan Sunda Kelapa sampai taman stasiun Jakarta Kota. Desain disesuaikan dengan konteks arsitektur kolonial dan pecinan yang menjadi ciri khas kawasan tersebut.
Seperti pada kasus Daerah Tanah Abang di Jakarta. Tanah Abang merupakan daerah yang terkenal sebagai daerah perbelanjaan dengan lingkup internasional memiliki permasalahan penataaan ruang dengan kondisi fisik lingkungan dan bangunananya. Walau secara fisik bangunan pusat kegiatan yang ada tidak memiliki signifikasi dengan sejarah akan tetapi bentuk kegiatannyalah yang patut di lestarikan walau dengan pembangunan yang baru. Selain kegiatan perdagangan pada tempat tersebut sudah lamasekali berlangsung di era penjajahan akan tetapi perhatiannya justru dilihat dari konteks perekonomian dimana kegiatan tersebut memiliki nilai skala ekonomi yang tinggi baik pada lingkungan sekitar juga pada tingkat kota.


KESIMPULAN

Penjabaran elemen-elemen fisik rancang kota oleh Hamid Shirvani dalam Urban Design Proccess secara keseluruhan merupakan elemen fisik perancangan kota yang juga menjadi pembahasan pada penulisan lainnya. Akan tetapi elemen fisik berupa tata hijau tidak dimunculkan sebagai elemen yang juga berpengaruh pada kualitas ruang kota. Menurut Roger Trancik (1986), tata hijau merupakan bagian penting dan dimasukan dalam unsur soft spaces yang juga berperan dalam kualitas visual ruang kota. Elemen tata hijau menurut saya sangat penting artinya bagi rancang kota terutama dalam kaitannya dengan daerah tropis, dan manfaat dari tata hijau sampai saat ini belum dapat disubtitusikan dengan elemen lain.
Aspek visual memegang peranan utama dalam perancangan kota, ia berhubungan dengan seluruh elemen-elemen rancang kota dan membentuk ruang fisik elemen-elemen perkotaan tersebut. Aspek visual juga didasarkan atas presepsi pengamat dalam melihat bentuk fisik suatu tempat. Karakterisitik suatu tempat mengarahkan presepsi dari aspek visual terhadap pembentukan elemen-elemen perancangan kota tersebut.
Selain aspek visual, aspek kegiatan khususnya kegiatan perbelanjaan atau retail (shopping) merupakan aspek non fisik yang memegang peranan penting dalam pembentukan ruang kota dan mempengaruhi seluruh elemen perancangan kota seperti yang ditulis oleh Rem Koolhaas dalam bukunya Mutation bahwa kota berarti belanja (City mean Shopping). Ini memperlihatkan kekuatan kegiatan retail yang berdampak besar pada rancang kota.
Elemen-elemen rancang kota (urban design elements) pada dasarnya berkaitan dan berhubungan satu sama lain dalam membentuk kualitas suatu ruang kota yang baik. Elemen itu berhubungan erat dan tentunya pula dengan ruang umum (public space) sebagai ruang yang dapat digunakan masyarakat kota dan dapat memperlihatkan citra dan kualitas suatu kota.




























DAFTAR PUSTAKA


A Webster’s New World College Dictionary, NY: Macmillan, 1996
Clare Cooper Marcus and Carolyn Francis, People Places, NY: John Wiley & Sons, Inc., 1998
Congress for the New Urbanism, Charter of the New Urbanism, Mc Graw-Hill, 2000
Eko Budiharjo dan Djoko Sujarto, Kota Berkelanjutan, Bandung: Alumni, 1999
Hamid Shirvani, The Urban Design Process, NY: Van Nostrand Reinhold Company, 1985
Kevin Lynch, Image of the City, Massachusetts: MIT press, 1964
Kevin Lynch, Managing the Sense of Region, 1976
Matthew Carmona, Tim Heath, Toner Oc and Steven Tiesdell, Public Places-Urban Spaces: The Dimensions of Urban Design, Oxford: Architectural Press, 2003
Norman K. Booth, Basic Elements of Landscape Architectural Design, Illinois: Waveland Press, Inc., 1983.
Rem Koolhaas, Mutation, Actar
Roger Trancik, Finding Lost Space, NY: Van Nostrand Reinhold Company, 1986
Teori Perancangan Urban, Prog. Studi Per. Ars. Fak. Pascasarjana ITB, 1991
ULI, Downtown Development Handbook, Washington, D.C.: ULI, 1992
Yoshinobu Ashihara, The Aesthetic Townscape, Cambridge: MIT press, 1983

Tidak ada komentar:

Posting Komentar