Sabtu, 13 Agustus 2011

KONSEP INTERAKSI SOSIAL

1. Hubungan Antara Perilaku Manusia dan Lingkungannya
Ada tiga sudut pandang dalam melihat tingkatan suatu lingkungan dalam mempengaruhi tindakan-tindakan manusia (Bell, Baum, Fisher and Greene. Environmental Psychology. Holt, Rinehart and Wiston, Inc. 1984:364). Yang pertama adalah architectural determinism, tingkatan ini merupakan bentuk hubungan satu arah di mana keberadaan lingkungan mempengaruhi perilaku manusia. Kondisi ini meniadakan aturan manusia itu sendiri sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial.
Manusia bukanlah mahluk yang pasif, perilaku manusia dapat membentuk dan mempengaruhi lingkungan dan lingkungan itu sendiri sebaliknya dapat mempengaruhi perilaku manusia. Kondisi ini dapat disebut juga two way process. Proses dua arah yang bersifat saling mempengaruhi merupakan suatu bentuk interaksi yang membutuhkan komunikasi antar perilaku manusia dengan lingkungannya.
Yang kedua adalah environmental possibilism, di mana orang-orang memilih di antara lingkungan yang memberikan kesempatan-kesempatan berkembang yang tersedia untuk mereka.
Dan terakhir adalah environmental probabilism, yaitu di dalam memberikan suatu setting fisik beberapa pilihan menjadi lebih disukai daripada yang lain. Yang dimaksudkan di sini adalah perubahan setting fisik tertentu pada elemen fisik yang sama mempengaruhi perilaku orang dalam lingkungan tersebut.
Suatu contoh ketika terdapat ruang kosong di tepi jalan, pilihan yang diambil di antara pilihan yang ada adalah menjadikan ruang tersebut tempat berjualan makanan. Disaat ruang itu telah terbentuk kemudian mengambil layout furniture yang dianggap paling baik dari beberapa pilihan yang ada untuk lebih menarik orang dalam menggunakan ruang tersebut

a. Ruang Personal
Hubungan antara lingkungan dan perilaku dalam proses sosial dapat dilihat dari seberapa pasti perilaku individu dan kelompok dalam mempengaruhi pembentukan ruang interaksi sosialnya. Kondisi ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai ruang personal (personal space). Hall(Hall, Edward T. The Hidden Dimension. NY: Doubleday & company, Inc. 1966:110-120 )mengemukakan bahwa ruang personal adalah suatu jarak berkomunikasi, di mana jarak antar individu adalah suatu jarak berkomunikasi. Jarak ini dapat disebut juga jarak proxemic atau jarak kedekatan. Jarak komunikasi tersebut dibagi dalam empat kategori , yaitu:
a. Jarak intim (intimate distance): fase dekat (0,00-0,15 m) dan fase jauh (0,15-0,50 m), merupakan jarak antara individu yang sudah akrab seperti kekasih atau suami istri di mana orang hanya dengan berbisik mampu membuat hubungan komunikasi.
b. Jarak personal (personal distance) : fase dekat (0,50-0,75 m) dan fase jauh (0,75-1,20 m), merupakan jarak akrab antara dua orang yang membutuhkan ruang untuk gerakan tangan.
c. Jarak sosial (social distance) : fase dekat (1,20-2,10 m) dan fase jauh (2,10-3,60 m), merupakan jarak komunikasi kelompok di mana gerak anggota tubuh membantu dan suara mampu didengarkan oleh anggota kelompok tersebut.
d. Jarak publik (public distance) : fase dekat (3,60-7,50 m) dan fase jauh (>7,50 m), merupakan jarak yang memerlukan usaha keras untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Jarak ini digunakan seperti pada dosen yang berbicara di ruang kelas atau penceramah pada ruang dengan kelompok manusia yang mendengarkannya.
Ruang personal yang di bagi melalui beberapa jarak proxemic merupakan jarak-jarak tertentu di mana individu dan individu lainnya berusaha untuk menjaga komunikasi antar mereka sesuai ruang yang dibentuk berdasarkan jarak yang dicapai. Makin besar jarak yang diberikan makin luas jangkauan komunikasi dan makin banyak individu yang akan berinteraksi, sedangkan makin kecil jarak yang diberikan dan semakin sempit ruang yang terjadi maka makin sedikit individu yang berinteraksi. Ruang personal ditiap-tiap individu tentunya dapat bersifat sama atau berlainan. Pembentukan ruang personal ini tidak mutlak berdasarkan kondisi dan jarak yang dibentuk. Kondisi personal seperti latar belakang, jenis kelamin, usia dan situasi berpengaruh dalam pembentukann ruang tersebut.

b. Teritori
Teritori merupakan suatu kecenderungan dalam menguasai suatu area. Manusia yang tidak jauh beda dengan organisme terendah memiliki kecenderungan dalam menetapkan batasan atas lingkungan fisiknya, memiliki hak dalam menetapkan siapa yang dapat masuk atau tidak. Dalam aspek psikologis, ini berkaitan dengan ego sebagai manusia dan terbebaskan dari ketidaknyamanan fisik. Dengan kondisi tersebut manusia menetapkan suatu jumlah minimun ruang yang ia pakai.
Altman(Bell, Baum, Fisher and Greene. Environmental Psychology. Holt, Rinehart and Wiston, Inc. 1984:256 ) menggolongkan teritori dalam tiga bagian
• Teritori Primer, adalah suatu penguasaan tempat yang bersifat pribadi dan hanya orang-orang tertentu yang dapat memasukinya, yang sudah akrab atau sudah mendapat izin.
• Teritori Sekunder, adalah suatu penguasaan tempat yang dimiliki oleh sejumlah orang atau kelompok dan sudah saling mengenal.
• Teritori Publik, adalah suatu tempat yang bersifat terbuka bagi publik yang pada prinsipnya setiap orang diperkenankan memasuki atau berada pada tempat tersebut.

c. Komunikasi Nonverbal Melalui Perilaku dan Lingkungannya
Hubungan antar individu dalam kelompok sosial melalui konsep ruang personal maupun teritori dalam membentuk suatu interaksi sosial tentunya memerlukan lingkungan yang mewadahinya. Lingkungan sebagai tempat dalam berkegiatan berkaitan dengan elemen fisik yang membentuknya. Elemen-elemen tersebut baik langsung maupun tidak langsung memiliki hubungan komunikasi dengan individu atau kelompok individu dalam suatu lingkungan dalam bentuk prilaku yang dilakukan. Kaitan interaksi yang terjadi antara perilaku dan lingkungannya sebagai suatu komunikasi nonverbal yang memiliki arti (Rapoport, A. The Meaning of the Built Environment. Tuscon: the University of Arizona Press. 1982) dibagi atas tiga elemen:
1. Fixed-feature element
Merupakan suatu elemen fisik yang bersifat tetap atau dia dapat berubah secara lamban dan jarang atau dalam jangka waktu yang lama. Seperti tiga elemen ruang arsitektur yaitu atap, lantai dan dinding. Atau bisa juga bangunan dan jalan dalam suatu kota.
2. Semifixed-feature element
Elemen yang bersifat semi tetap merupakan suatu elemen yang dapat berubah secara cepat dan mudah. Sifat elemen tersebut menjadi penting dalam memberi arti pada lingkungan di mana kecenderungan untuk berkomunikasi lebih dari elemen yang bersifat tetap (fixed). Elemen ini dapat dicontohkan sebagai bentuk street furniture, layout jendela pajang, papan reklame, tata hijau dan sebagainya.
3. Nonfixed-feature element
Elemen yang bersifat tidak tetap ini berkaitan dengan manusia sebagai penghuni atau setting dari penghuni/pengguna ruang. Perpindahan hubungan spasial (Proxemics), posisi tubuh dan posture (kinesics), pergerakan tangan dan bahu (gesture), ekspresi muka dan bentuk-bentuk perilaku nonverbal lainnya merupakan bagian dari elemen yang bersifat tidak tetap ini. Keberadaan isyarat muka yang saling berhadapan, postur, gerak-gerak isyarat tubuh, ekspresi muka, maupun jarak menjadi unsur-unsur yang penting dalam komunikasi sosial yang bersifat interaksi dan tidak terlepas juga dengan situasi konteks lingkungannya seperti setting fisik lingkungan, keberadaan orang lain, aturan atau norma sosial pada suatu budaya.
Ruang personal maupun teritori sangat berkaitan erat dengan pembentukan ruang interaksi pada ruang jalan suatu permukiman. Jalan di permukiman kampung dan perumahan Perumnas yang berbeda maupun bentuknya akan membentuk ruang interaksi yang berbeda berdasarkan kedua konsep tersebut.

2. Definisi Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan kebutuhan dasar manusia selama ia berada dalam suatu lingkungan sosial atau lingkungan masyarakat yang selalu memiliki hubungan antar individu. Kebutuhan itu berada pada tingkatan kebutuhan dasar manusia yang berada pada jenjang tertentu setelah kebutuhan lainnya terpenuhi seperti yang diungkapkan oleh Maslow (Carmona, Heath, Oc, and Tiesdell. Public Place–Urban Space: The Dimensions of Urban Design. Architectural Press. 2003: 107) yaitu :
• Kebutuhan fisiologis (physiological needs), perasaan atas nyaman dan tenteram.
• Kebutuhan keamanan, perasaan aman dari lingkungan fisik dan dari tindak kejahatan (safety and security needs).
• Kebutuhan petalian/hubungan sosial (affiliation needs).
• Kebutuhan untuk dihargai/penghargaan (esteem needs).
• Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (self-actualisation needs).

Menurut Webster’s Dictionary arti kata Interaksi (interaction) adalah tindakan kepada orang lain atau tindakan timbal balik (reciprocal action). Sedangkan sosial (social) mempunyai arti antara lain yaitu hidup atau berhubungan dengan orang lain dalam kelompok atau komunitas. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa interaksi sosial merupakan suatu hubungan/tindakan timbal balik antar manusia dalam suatu kelompok atau komunitas/masyarakat.
Interaksi sosial tak dapat dipisahkan dengan proses berfikir manusia. Proses ini dibentuk dalam suatu bentuk sosialisasi manusia di mana sosialisasi itu sendiri bukan semata-mata proses satu arah tetapi merupakan proses dinamis di mana aktor menyusun dan menyesuaikan informasi yang didapat dengan kebutuhan mereka sendiri(Ritzer, G., Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern . McGraw-Hill. 2003: 290).
Interaksi sosial terjadi dalam suatu proses komunikasi, melibatkan dua orang atau lebih yang terlibat dalam tindakan sosial timbal balik, dan tindakan sosial itu sendiri adalah tindakan di mana individu bertindak dengan orang lain dalam pikiran. Dengan kata lain, dalam melakukan tindakan, seorang aktor mencoba menaksir pengaruhnya terhadap aktor lain yang terlibat. Meski mereka sering terlibat dalam perilaku tanpa pikir, perilaku berdasarkan kebiasaan, namun manusia mempunyai kapasitas untuk terlibat dalam tindakan sosial.
Kekuatan eksistensi dalam suatu interaksi sosial sangat berarti dalam hubungannya dengan pembentukan ruang lingkungan fisik. Interaksi sosial tidak hanya dilakukan dengan suatu komunikasi verbal tetapi juga melalui bahasa tanda, gerak isyarat (gesture), sikap tubuh (posture) dan jarak Oleh karena itu kekuatan komunikasi non verbal dari manusia sebagai subyek sangat berperan dalam pembentukan ruang sebagai produksi dari suatu interaksi sosial.

3. Hubungan Interaksi Sosial dan Ruang Publik
Berkaitan dengan interaksi sosial yang terjadi pada ruang publik, Jan Gehl(Gahl, J., Life Between Building: Using public space (third edition). Arkitektens forlag, Skive. 1996), membagi kegiatan luar ruang pada ruang publik (Public Space) menjadi tiga kategori yaitu; Kegiatan berdasarkan atas kebutuhan/keperluan sehari-hari (necessary activities) seperti kegiatan belanja, pergi bekerja, ke sekolah dan sebagainya. Kegiatan pilihan (optional activities) merupakan kegiatan yang lebih bersifat leisure atau memanfaatkan waktu luang seperti berjalan-jalan, menikmati pemandangan dan sebagainya. Kegiatan yang teakhir adalah kegiatan sosial (social activities) yang merupakan kegiatan yang bersifat interaktif yaitu berhubungan dengan orang lain..
Kegiatan sosial (social activities) di sini ditekankan pada pandangan orang lain di dalam ruang publik tersebut seperti memberi salam, bercakap-cakap atau kegiatan bersama atau merupakan kontak pasif seperti mendengarkan atau melihat orang lain. Kegiatan ini dapat juga terjadi secara spontan sebagai akibat adanya pergerakan orang pada waktu dan tempat yang sama yang memungkinkan terjadi pada jenis kegiatan lainnya seperti pada kegiatan yang perlu dilakukan (necessary activities) maupun kegiatan pilihan (optional activities).
Dalam buku life between buildings, Gahls memberikan indikator ruang interaksi berdasarkan intensitas kontak antar manusia terjadi. Semakin tinggi kontak yang terjadi pada ruang jalan semakin hidup kegiatan suatu kota dan sebaliknya. Kontak dengan intensitas yang tinggi itu pun bermula dari kontak pasif yaitu dengan sekedar melihat dan mendengar. Di awali dengan kontak pasif, kesempatan untuk menjadi lebih baik dapat tercapai pada ruang jalan sebagai bentuk ruang publik.



Adanya kontak antar manusia merupakan awal yang baik dalam menjadikan jalan menjadi ruang interaksi. Terjadinya kontak antar manusia tidak terlepas dari adanya manusia itu sendiri (berkaitan dengan densitas) maupun kegiatan yang ada dalam ruang jalan tersebut sebagai unsur penarik atau penambah minat manusia untuk melakukan kontak dan berinteraksi . ”It was obvious that human activities, being able to see other people in action, constituted the area's main attraction……..people and human activities attract other people”
Densitas pengguna ruang yang dapat menciptakan kontak intensitas yang tinggi pada ruang jalan berkaitan dengan keberadaan pejalan kaki (pedestrian)(Moughtin, C. Urban Design: Street and Square. Butterworth Architecture. 1992: 132 ). Kenyamanan ruang jalan untuk digunakan oleh pejalan kaki berkaitan dengan faktor ketiadaan konflik dengan kendaraan dan tata guna lahan campuran khususnya keberadaan fungsi pertokoan dan sekolah yang mampu membangkitkan densitas pengguna jalan


Proshansky(Ittelson, Proshansky, Rivlin and Winkel. An Introduction to Environmental Psychology. NY: Holt, Rinehart and Winston, Inc. 1974: 140) , setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi adanya kemungkinan terjadinya suatu kontak yang memiliki makna:
1. Jumlah waktu yang diluangkan orang dalam suatu area. Bila waktu yang dibutuhkan sedikit, kecil kemungkinan terjadi interaksi sosial.
2. Frekuensi, seberapa sering orang menggunakan suatu area dalam berkegiatan.
3. Fasilitas, Seberapa besar ukuran fisik dari suatu tempat yang memungkinkan dalam terjadinya interaksi sosial.

a. Tempat Ketiga
Interaksi sosial yang terjadi pada ruang publik secara rutin tidak hanya terbatas dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja (domestic), atau kegiatan dalam lingkup pekerjaan (work). Akan tetapi dapat berupa kegiatan yang bersifat pemanfaatan waktu luang. Kegiatan interaksi tersebut bersifat rutin dan terjadi dalam ruang publik di mana semua orang dapat menggunakan ruang tersebut dalam kapasitas yang sama dan dengan rutinitasnya, interaksi yang terjadi antar penggunanya dapat memiliki nilai yang lebih. Dengan sifat kegiatan tersebut tentunya akan membentuk suatu karakter ruang interaksi yang tidak sebatas sebagai wadah akan tetapi lebih menjadi tempat yang memiliki makna. Tempat tersebut dapat dikatakan sebagai ”tempat ketiga” (third place)(Oldenburg, R. Celebrating the Third Place: Inspiring Stories About the “Great Good Place” at the Heart of Our Communities. NY: Marlowe & Company. 2001)
Tempat ketiga (thrid place) sebagai suatu ruang interaksi sosial yang memiliki nilai lebih dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, suatu tempat berkumpul dan dapat menjadi focal point dalam kehidupan masyarakat perkotaan yang mulai menjauh dari sifat kekeluargaan dan kebersamaan.
Istilah third place atau ”tempat ketiga” merupakan salah satu bentuk representasi ruang interaksi sosial yang memiliki artian sebagai suatu tempat yang dituju selain tempat tinggal sebagai tempat pertama dan tempat kerja sebagai tempat kedua dalam rutinitas hidup sehari-hari. Tempat itu dapat berupa ruang indoor seperti kafe, restaurant, toko buku atau tempat ruang luar seperti ruang jalan seperti yang dicontohkan dalam buku tersebut yaitu Maxwell street di Chicago, Illinois. Penggambaran Maxwell street di sini merupakan sebuah penggal jalan yang diisi oleh pasar luar ruang (market outdoor) atau bisa dikatakan sebagai ruang kaki lima. Jalan tersebut merupakan tempat di mana orang-orang tidak hanya berbelanja tetapi juga bersosialisasi, bertukar berita dan menjadi terhibur. Ia menjadi ruang yang terbuka untuk siapa saja dan selalu menjadi tempat di mana orang-orang dari segala jalan kehidupan yang berbeda dapat berinteraksi.
Beberapa kriteria suatu tempat dapat dikatakan sebagai ”tempat ketiga” yaitu; ia merupakan tempat yang dapat di akses semua orang dengan gratis atau membayar dengan murah, letak tempat tersebut berdekatan dengan rumah sehingga dapat dikunjungi secara rutin, nyaman sebagai tempat untuk bercakap-cakap/ngobrol, merupakan rumah kedua untuk teman lama atau baru dan memiliki sifat ruang yang menyenangkan. Dari kriteria tersebut, ruang jalan permukiman mampu dikatakan sebagai tempat ketiga dalam mewadahi kegiatan interaksi sosial yang bersifat memanfaatkan waktu luang dan rutin.
Kriteria ”tempat ketiga” tentunya berkaitan dengan sifat kegiatannya yaitu kegiatan pilihan (optional activity) atau kegiatan meluangkan waktu (leisure). Kegiatan-kegiatan tersebut haruslah memiliki unsur interaksi walaupun terjadi hanya dengan sedikit orang dan kegiatan tersebut haruslah dilakukan sebagai suatu kegiatan rutin pada tempat yang sama.

b. Tempat Sosial (sociable place)
William H. Whyte dalam bukunya The Social Life of Small Urban Spaces melalui penelitiannya di Central Park, NY menyebutkan bahwa penggunaan terbaik dari suatu ruang plaza adalah sebagai tempat yang bersifat sosial (sociable) yang berfungsi sebagai tempat pasangan saling berbincang, tempat orang-orang berkumpul dalam suatu grup, serta tempat banyak orang saling bertemu dan saling mengucapkan salam.
Dari pengamatan terhadap beberapa tempat Whyte menyimpulkan bahwa faktor utama untuk menarik orang menggunakan ruang tersebut adalah faktor tempat duduk. Tempat duduk dapat mendorong orang untuk menghabiskan waktu lebih lama berada pada ruang terbuka publik, sehingga memungkinkan terjadinya kontak yang lebih lama dalam ruang tersebut.
Kedua adalah faktor yang berhubungan dengan kondisi kenyamanan biologis manusia yaitu faktor matahari, angin, pohon dan air. Namun faktor matahari pada penelitian Whyte yang berada di kota New York sangat bebeda dengan lingkungan iklim tropis. Penduduk New York membutuhkan cahaya matahari sebagai penghangat sedangkan penduduk pada daerah tropis membutuhkan pelindung untuk menghindari sengatan cahaya matahari.
Keberadaan makanan merupakan faktor lain dalam mencapai keberhasilan fungsi ruang terbuka publik tersebut. Makanan mampu mengundang orang untuk menikmati suatu tempat lebih lama. Makanan juga dapat menjadi teman mengiringi kegiatan berbincang-bincang, mengamati orang, dan sebagainya.
“If you want to seed a pace with activity, put out food....food attracts people who attract more people”
Bentuk penyediaan makan dapat bersifat mobile seperti penjaja keliling makanan atau yang bersifat menetap seperti toko, café, atau warung makan.
Faktor lain yang paling penting adalah ruang jalan. Walaupun jalan tidak berada di dalam plaza tetapi keberadaannya mempengaruhi keberhasilan fungsi plaza. Faktor kedekatan dan hubungan dengan ruang jalan menjadi faktor utama dan bersifat terpadu. Ruang jalan yang padat dengan pejalan kaki memberikan potensi terhadap intensitas dan densitas interaksi yang terjadi. Memberadakan diri pada kepadatan sirkulasi (self-congestion) justru memberikan daya tarik ruang jalan tersebut.
“What attracks people most , it would appear, is other people”
Sudut persimpangan jalan sebagai titik pertemuan pergerakan (meeting point) memberikan potensi kepada manusia untuk berinteraksi dan menikmati ruang interaksi. Fungsi retail-toko, jendela pajang/pamer dan akses pintu masuk bangunan sepanjang jalan memberikan potensi terciptanya keberlangsungan ruang interaksi pada ruang jalan tersebut maupun ruang plaza yang berdekatan dengannya.
Terciptanya ruang jalan sebagai ruang yang ramai dengan kegiatan sosial tidak terlepas dari 3 prinsip (Kamil, M. Ridwan. Forgotten Space:Fenomena Koridor Jalan yang Terabaikan Sebagai Ruang Publik Kota. Info URDI Vol. 17. www.urdi.org)yang berkaitan dengan lingkungan fisik atau tempat berinteraksi, yaitu pertama adalah densitas yang optimal. Densitas dari bangunan umum mampu membangkitkan keberadaan pengguna yang menjadi indikator hidupnya suatu koridor jalan. Akan tetapi densitas juga harus melihat variasi kegiatan yang ada pada bangunan umum tersebut. Yang kedua adalah tata guna lahan yang mendukung. Kondisi ini berkaitan dengan kebijakan suatu kota yang dapat menunjang terciptanya fungsi sosial ruang publik. Tata guna lahan harus mempertimbangkan fungsi bangunan yang mendukung dan membangkitkan kegiatan sosial seperti fungsi jasa/bangunan umum.Yang ketiga adalah desain koridor jalan yang baik dan cermat. Koridor jalan haruslah di desain sangat spesifik mengikuti karakter sosial, ekonomi dan budaya lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar