Sabtu, 13 Agustus 2011

Trotoar dan Kaki Lima


TROTOAR DAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
A. TROTOAR
DEFINISI:
• Trotoar berasal dari bahasa Perancis trottoir. Masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui bahasa Belanda yang lebih dulu menyerap kata tersebut. Maknanya ’bagian tepi jalan dengan lebar tertentu dan ditinggikan yang dibuat khusus untuk pejalan kaki’. Asal kata ini sebenarnya verba trotter yang berarti ’(untuk kuda) berlari-lari kecil’. Memang asal mulanya di Perancis trottoir berfungsi sebagai jalan untuk kuda berjalan di tepi jalan raya. Kemudian berkembang fungsinya menjadi jalan untuk pejalan kaki. Padanan kata ini dalam bahasa Inggris adalah pavement (Britania) atau sidewalk (Amerika).
( Artikel dalam http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/02/00385884/trotoar Oleh BENNY H HOED Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)
• Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang terletak pada Daerah Milik Jalan, diberi lapisan permukaan, diberi elevasi yang lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan, dan pada umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan.
(TATA CARA PERENCANAAN FASILITAS PEJALAN KAKI DI KAWASAN PERKOTAAN J A L A N NO.: 011/T/Bt/1995)

• Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang sejajar dan bersebelahan dengan jalur lalu lintas yang diperkeras dengan konstruksi perkerasan. Trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki. (http://balitbang.pu.go.id/sni/istilah_definisi_list.asp?offset=1560)

LANDASAN UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN:
• UU NO. 22 TH. 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
Pasal 25
(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. alat penerangan Jalan;
e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan
h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 45
(1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. trotoar;
b. lajur sepeda;
c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
d. Halte; dan/atau
e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.

Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Pejalan Kaki dalam Berlalu Lintas
Pasal 131
(1) Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.
(2) Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang Jalan di tempat penyeberangan.
(3) Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejalan Kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.



BAB IX
LALU LINTAS
Bagian Kesatu
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Paragraf 1
Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Pasal 93
(1) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus;
b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki;
c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat;
d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas;
e. pemaduan berbagai moda angkutan;
f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan;
g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau
h. perlindungan terhadap lingkungan.


• UU NO. 38 TH. 2004 tentang JALAN
Bagian Ketiga
Bagian-Bagian Jalan
Pasal 11
(1) Bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan.
(2) Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.
(3) Ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan.
(4) Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 12
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan.
(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan.
(3) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan.

PENJELASAN
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ruang manfaat jalan adalah suatu ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan, termasuk jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak di bagian paling luar, dariruang manfaat jalan, dan dimaksudkan untuk mengamankan bangunan jalan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ruang milik jalan (right of way) adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ruang pengawasan jalan adalah ruang tertentu yang terletak di luar ruang milik jalan yang penggunaannya diawasi oleh penyelenggara jalan agar tidak mengganggu pandangan pengemudi, konstruksi bangunan jalan apabila ruang milik jalan tidak cukup luas, dan tidak mengganggu fungsi jalan. Terganggunya fungsi jalan disebabkan oleh pemanfaatan ruang pengawasan jalan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan adalah setiap bentuk tindakan atau kegiatan yang dapat mengganggu fungsi jalan, seperti terganggunya jarak atau sudut pandang, timbulnya hambatan samping yang menurunkan kecepatan atau menimbulkan kecelakaan lalu lintas, serta terjadinya kerusakan prasarana, bangunan pelengkap, atau perlengkapan jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

• PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN
Paragraf 1
Ruang Manfaat Jalan
Pasal 34
(1) Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.
(2) Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya.
(4) Trotoar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.

Paragraf 1
Bangunan Utilitas
Pasal 47
(1) Pada tempat tertentu di ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan dapat dimanfaatkan untuk penempatan bangunan utilitas.
(2) Bangunan utilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada jaringan jalan di dalam kota dapat ditempatkan di dalam ruang manfaat jalan dengan ketentuan:
a. yang berada di atas tanah ditempatkan di luar jarak tertentu dari tepi paling luar bahu jalan atau trotoar sehingga tidak menimbulkan hambatan samping bagi pemakai jalan; atau
b. yang berada di bawah tanah ditempatkan di luar jarak tertentu dari tepi paling luar bahu jalan atau trotoar sehingga tidak mengganggu keamanan konstruksi jalan.

Paragraf 3
Perencanaan Teknis
Pasal 86

(5) Rencana teknis jalan wajib memperhitungkan kebutuhan fasilitas pejalan kaki dan penyandang cacat.
Penjelasan:
Ayat (5)
Pejalan kaki dan penyandang cacat perlu diperhitungkan karena merupakan bagian dari lalu lintas. Fasilitas pejalan kaki dan penyandang cacat merupakan prasarana moda transportasi yang penting antara lain dapat berupa trotoar dan penyeberangan jalan di atas jalan, pada permukaan jalan, dan di bawah jalan.

• TATA CARA PERENCANAAN FASILITAS PEJALAN KAKI DI KAWASAN PERKOTAAN J A L A N NO.: 011/T/Bt/1995
Fasilitas Pejalan Kaki
Semua bangunan yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan pelayanan
kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan dan
kenyamanan pejalan kaki.
Jalur Pejalan Kaki
Jalur pejalan kaki adalah jalur yang disediakan untuk pejalan kaki guna memberikan
pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan,
dan kenyamanan pejalan kaki tersebut.
Tabel 1. Penambahan Lebar Jalur Pejalan Kaki
Fasilitas Lebar Tambahan (cm)
1) Patok penerangan 75 - 100
2) Patok lampu lalu-lintas 100 - 120
3) Rambu lalu-lintas 75 - 100
4) Kotak surat 100 - 120
5) Keranjang sampah 100
6) Tanaman peneduh 60 - 120
7) Pot bunga 150

B. PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
DEFINISI
Penggunaan kata kaki lima sebenarnya telah dikenal sejak tahun 1811-1816, semasa Negara-negara koloni Belanda di Asia dibawah kekuasaan administrasi Inggris pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Raffles. Pada masa itu dibuatlah peraturan tentang system lalu lintas di sebelah kiri. Dan bersamaan dengan hal itu, juga dibuat peraturan mengenai penyediaan fasilitas pejalan kaki (trotoar) yang tingginya harus + 31 cm dan lebarnya + 5 feet (+1.5m). Peraturan sistem lalu lintas di sebelah kiri sampai sekarang masih tetap dipakai di Indonesia, sedangkan penggunaan trotoar yang seharusnya menjadi tempat pejalan kaki juga digunakan sebagai aktifitas pedagangan seperti yang dilakukan di desa-desa. Dari Istilah five feet yang bermula dari ukuran lebar trotoar kemudian identik menjadi nama suatu aktifitas usaha dagangn yaitu kaki-lima. (Schoch & Lili. N, Kaki Lima, 1986)
Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor ekonomi informal dimana seperti dijelaskan dalam kriteria sektor ekonomi informal oleh International Labour Organization (ILO) tahun 1972(Alan Gilbert & Josef Gugler, Cities, Poverty and Development: Urbanization in the 3rd world. Mei 1996: 96), yaitu :
1. Mudah untuk dimasuki
2. Bersandar pada sumber daya lokal.
3. Usaha milik sendiri
4. Operasinya dalam skala kecil.
5. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif
6. Ketrampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal.
7. Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.
Dalam peraturan daerah DKI disebutkan juga ciri-ciri sektor informal ini yaitu:
Pedagang kaki lima ialah mereka yang di dalam usahanya mempergunakan bagian jalan atau trotoar dan tempat-tempat untuk kepentingan umum yang bukan diperuntukan untuk tempat usaha serta tempat lain yang bukan miliknya(Peraturan Daerah DKI Jakarta nomor 5 tahun 1978) .

Usaha kaki lima banyak dijumpai bermacam-macam bentuknya. Tetapi pada dasarnya bentuk yang ada dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, (Kamala Chandrakirana, Isono Sadoko bersama Tim Peneliti Proyek Sektor Informal Perkotaan, Dinamika Ekonomi Informal di Jakarta: Industri Daur Ulang, Angkutan Becak dan Dagang Kaki Lima. Jakarta: UI-Press, 1994:38)yaitu :
1. Kios
2. Tenda
3. Gelar
Perbedaan dari ketiga bentuk tersebut adalah sifat kepermanenanya seperti bentuk kios merupakan bentuk yang lebih permanen dari kedua bentuk lainnya. Kios memiliki atap dan dinding, waktu berjualannya tidak terbatas dan dari jenis bangunannya digolongkan sebagai bangunan semi permanen. Bentuk Tenda adalah bentuk temporal, dapat dibongkar pasang dengan cepat, memiliki atap sebagai peneduh. Sedangkan bentuk gelar mempunyai sifat mobilitas yang tinggi.
Sifat kepermanenanya juga dapat dilihat dari besarnya modal yang dimiliki. Semakin besar modal yang dimiliki semakin permanen pula usahannya.

LANDASAN UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN:
• UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL
Pasal 13
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf g dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
untuk:
a. menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang
pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan
lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar